Ragu Apakah Terbenam Matahari saat Buka Puasa, Bagaimana?

Daftar Isi
Terbenam Matahari saat Buka Puasa

Alfailmu.com - Ragu Apakah Terbenam Matahari saat Buka Puasa, Bagaimana? Jika seseorang menyangka matahari telah terbenam karena mendung atau lainnya, lalu ia berbuka tapi kemudian matahari muncul lagi, maka ia harus mengqadha menurut sebagian besar ulama.

Sama halnya kalau muazin keliru mengumandangkan adzan sebelum terbenamnya matahari, atau menyulut mertam penanda waktu berbuka sebelum terbenamnya matahari, meskipun hanya satu menit, ialu orang berbuka dengan berpedoman kepada dua hal itu, maka ia wajib menqadha puasanya.

Kalau seseorang berbuka sementara ia ragu apakah matahari sudah terbenam atau belum, ia harus membayar kafarat di samping menqadha puasanya menurut Imam Malik, kecuali kaiau dugaan kuatnya adalah matahari sudah terbenam.

Barangsiapa ragu bahwa fajar telah terbit, maka ia harus berhenti makan. Jika ia makan padahal ia ragu, ia harus menqadha, sama seperti orang yang makan karena lupa. Ini menurut Imam Malik.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berkata: ia tidak menanggung apa-apa sampai jeias baginya bahwa fajar telah terbit. 

Apabila sudah jelas bahwa fajar telah terbit (dan ia makan), ia wajib menqadha, dengan kesepakatan para Imam semua mazhab, dan ini didasarkan atas kaidah: Laa ‘ibrata biz-zhannil bayyini khatha-uhu (dugaan yang jelas kelirunya tidak diperhitungkan).

Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya menqadha apabila hilal tidak dapat terlihat gara-gara mendung pada malam pertama Ramadhan kemudian ternyata bari itu sudah masuk Ramadhan.

Begitu pula hukumnya tawanan yang berada di darul-harbi apabila ia makan karena menduga bahwa hari itu masih bulan Sya’ban kemudian ternyata hari itu sudah masuk Ramadhan.

Kata Imam Ibnu Katsir: Pembolehan makan hingga terbitnya fajar menunjukkan bahwa sahur itu dianjurkan (mustahab) sebab ia terhitung sebagai rukhshah, dan mengambil rukhshah termasuk perkara yang dianjurkan.

Oleh sebab itu, dalam hadis shabih dari Rasulullah Saw terdapat anjuran untuk makan sahur. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ada hadis yang diriwayatkan dari Anas, katanya: Rasulullah Saw pernah bersabda:

تَسَحَّرُوا؛ فإنَّ في السَّحُورِ بَرَكَةً. (أخرجه البخاري  ومسلم )

Artinya: “Makan sahurlah kalian, sebab dalam sahur terkandung berkah.

Maksud al-fajr dalam ayat ini adalah fajar shadiq, bukan fajar kadzib, dengan dalil hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لا يمنعكم أذان بلال فإنه ينادي بلَيْلٍ، فَكُلُوا واشْرَبُوا حتّى تسمعوا أذان ابنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فإنَّه لا يُؤَذِّنُ حتّى يَطْلُعَ الفَجْرُ. (صحيح البخاري)

Artinya: “Janganlah azan Bilal menghalangi kalian untuk makan sahur, sebab ia berazan pada malam hari. Makan minumiah hingga kalian nundengar azan Ibnu Ummi Maktum sebab ia tidak berazan kecuali setelah fajar terbit.” Ini adalah ialah riwayat Imam al-Bukhari.

Dalil lainnya adalah hadis Qais bin Thalq dari ayahnya:

ليس الفجرُ المستطيلُ في الأفقِ لكنَّه المعترِضُ الأحمرُ.

Artinya: “Fajar yang dimaksud bukanlah yang (berbentuk garis putih) memanjang di ufuk, melainkan yang melebar dan berwarna merah.

Disebutkan dalam sebuah hadis mursal yang derajatnya jayyid (bagus):

 الفجر فَجرانِ: فالَّذي كأنَّهُ ذَنَبُ السِّرحانِ – أي الذئب - لا يُحرِّمُ شيئًا وإنما هو المستَطيرُ الَّذي يأخذُ الأفقَ فإنه يحلُّ الصَّلاة ويحرمُ الطَّعام

Artinya: “Fajar ada dua macam. Yang bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan apapun. Sedangkan yang bentuknya menyebar di ufuk itulah yang menandakan waktu shalat shubuh dan mengharamkan makan (bagi orang yang berpuasa).” (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)