5 Permasalahan Fiqih dalam Hukum Wasiat

5 Permasalahan Fiqih dalam Hukum Wasiat

5 Permasalahan Fiqih dalam Hukum Wasiat

1. Pengubahan wasiat

Barangsiapa mendengar wasiat dari si pembuat wasiat atau mendengarnya dari orang yang tepercaya, yaitu dua orang yang adil (berperangai baik), kemudian ia mengubahnya, maka dosa pengubahan itu ditanggung si pengubah.

Sementara si pembuat wasiat keluar dari celaan, dan tuntutan menyangkut wasiat tersebut ditujukan kepada ahli waris atau wali.

Hal tersebut sebagaimana kata sebagian ulama mazhab Maliki, menunjukkan bahwa apabila utang telah diwasiatkan oleh orang yang mati berarti utang itu telah keluar dari tanggungannya dan wali-lah yang dituntut dengan utang itu, ia mendapat pahala kalau melunasinya dan mendapat dosa kalau menunda-nundanya.

Ini hanya sah apabila orang yang mati itu tidak mengabaikan pelunasan utangnya. Adapun jika ia sebenarnya mampu membayar utangnya tapi ia tidak melakukannya, kemudian ia mewasiatkan utang itu, maka pengabaian wali dalam pelunasan utang itu tidak melenyapkan utang itu dari tanggungan si orang mati.

2. Wasiat dengan maksiat

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa apabila seseorang mewasiatkan sesuatu yang tidak boleh, misalnya ia mewasiatkan khamar, babi, atau suatu maksiat lain, maka wasiat ini boleh diganti dan tidak boleh dilaksanakan, sebagaimana tidak boleh dilaksanakannya wasiat yang lebih dari sepertiga.

3. Pendamaian, dan penetapan hukum berdasarkan zhann (prasangka)

Makna ayat “فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا” adalah: Barangsiapa mengetahut sepeninggal orang yang membuat wasiat bahwa si pembuat wasiat telah berlaku berat sebelah atau sengaja menyakiti sebagian ahli warisnya, lalu ia mendamaikan keretakan bubungan dan perselisihan yang timbul di antara para ahli waris.

Maka ia tidak terkena dosa penggantian wasiat yang disebutkan di atas karena ia melakukan penggantian demi suatu maslahat, sedang penggantian yang mengandung dosa hanyalah penggantian yang disebabkan hawa nafsu.

Surat Al-Baqarah ayat 181 ini menunjukkan sahnya penetapan hukum berdasarkan zhann (praduga), karena apabila diduga adanya niat kerusakan maka wajib mengusahakan pendamaian.

Dan apabila kerusakan telah dipastikan terjadinya maka itu bukan pendamaian, melainkan keputusan untuk mencegah dan menghentikan kerusakan itu.

4. Sedekah pada waktu masih hidup lebih afdhal

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa sedekah pada waktu seseorang masib hidup (sehat walafiat) lebih afdhal ketimbang sedekah menjelang kematiannya.

Dalilnya adalah hadits shahih dari Nabi Saw ketika beliau ditanya: “Sedekah apa yang paling afdhal?” Beliau bersabda, “Sedekah yang kau berikan ketika kau masih sehat dan kikir dengan harta..”

Daraquthni meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لأن يتصدق المرء في حياته بدرهم خير له من أن يتصدق عند موته بمائة

Artinya: “Sedekah satu dirham yang dikeluarkan seseorang pada waktu ia masih hidup (sehat walafiat) lebih baik daripada sedekah seratus dirham menjelang kematiannya.

Imam an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Darda bahwa Nabi Saw bersabda:

مثل الذي ينفق أو يتصدق عند موته مثل الذي يهدي بعدما يشبع

Artinya: “Perumpamaan orang yang berinfak atau bersedekah menjelang kematiannya adalah seperti orang yang memberi hadiah setelah ia kenyang.

5. Merugikan orang lain dalam wasiat

 Barangsiapa tidak merugikan orang lain dalam wasiatnya, maka wasiat itu menjadi kafarat bagi zakat yang tidak ia tunaikan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Daraquthni dari Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya,

من حضرته الوفاة فأوصى فكانت وصيته  على كتاب الله كانت كفارة لما ترك من زكاته

Artinya: “Barangsiapa berwasiat menjelang kematiannya dan wasiat itu sesuai dengan aturan Kitabullah, maka wasiat itu menjadi kafarat bagi zakat yang ia tinggalkan.”

Namun, kalau ia merugikan orang lain dalam wasiatnya, pemberian wasiat itu haram hukumnya, dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Daraquthni dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda:

الإضرار فى الوصية من الكبائر

Artinya: “Merugikan orang lain dalam wasiat termasuk dosa besar.

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:

إن الرجل أو المرأة ليعمل بطاعة الله ستين سنة ثم يحضرهما الموت فيضاران فى الوصية فتجب لهما النار

Artinya: “Sungguh ada orang, laki-laki atau wanita, yang senantiasa taat kepada Allah selama enam puluh tahun, tapi menjelang kematiannya ia merugikan orang lain dalam wasiatnya, sehingga ia masuk neraka.

(Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)