Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Puasa dalam Islam
Perkara yang membatalkan puasa dan yang tidak. Puasa menjadi batal gara-gara makan, minum, dan jimak yang dilakukan dengan sengaja (dan hal ini didasarkan atas nash dan ijmak).
Di samping itu ia menjadi batal pula gara-gara obat, muntah yang disengaja, onani, masuknya air ke organ tubuh bagian dalam pada waktu berkumur dan menghirup air lewat hidung yang dilakukan secara berlebihan, merokok.
Juga menelan dahak (menurut mazhab Syafi’i), dan menelan secara sengaja benda apa pun yang mencapai organ tubuh bagian dalam, baik benda itu makanan ataupun bukan.
Puasa tidak batal gara-gara al-fashd (bekam), dan hal ini disepakati semua ulama, di samping itu ia tidak batal pula (menurut jumhur) gara-gara makan dan sejenisnya yang terjadi karena lupa, tapi menurut mazhab Maliki hal ini membatalkan puasa.
Puasa tidak batal gara-gara tetesan obat mata, bekam, suntik, atau celak mata (menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i), sedangkan menurut mazhab Hambali dan Maliki celak mata yang pasti mencapai kerongkongan membatalkan puasa.
Demikian pula bekam (menurut mereka) membatalkan puasa apabila kelihatan darahnya. Puasa tidak batal gara-gara bersiwak, berkumur, dan menghirup air lewat hidung yang dilakukan secara tak berlebihan; juga tidak batal gara-gara mandi dan berenang.
Menurut mazhab Maliki, puasa jadi batal lantaran masuknya air-yang dipakai berkumur, menghirup lewat hidung, dan bersiwak-ke dalam organ dalam tubuh walaupun hal itu terjadi karena lupa atau tak sengaja, walaupun berkumur dan sejenisnya tersebut dilakukan tanpa berlebihan.
Puasa tidak batal apabila seseorang tiba-tiba muntah dan ia tidak menelannya sedikit pun, juga tidak batal lantaran mencabut gigi asalkan ia tidak menelan darah atau obatnya.
Juga tidak batal gara-gara suntikan pada lubang kemaluan laki-laki (menurut mazhab Hanafi dan Maliki).
Adapun suntikan pada liang kemaluan wanita membatalkan puasa (menurut mazhab Hanafi). Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, semua suntikan membatalkan puasa. Puasa tidak batal akibat keluarnya madzi menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i.
Namun, menurut mazhab Maliki dan Hambali ia membatalkan puasa apabila keluarnya itu akibat mencium atau bercumbu tanpa penetrasi di kemaluan.
Tentang orang yang berjimak karena lupa ada tiga pendapat. Pertama, tidak ada qadha maupun kafarat atasnya. Ini adalah pendapat Syafi’i, Abu Hanifah, dan mayoritas ulama.
Kedua, ia harus mengqadha tanpa membayar kafarat. Ini adalah pendapat Malik. Ketiga, ia harus melakukan kedua-duanya. Ini adalah riwayat yang masyhur dari Ahmad.
Kafarat wajib dilakukan gara-gara berjimak dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan, dan ini disepakati semua fukaha. Demikian pula karena makan dan minum dengan sengaja menurut mazhab Hanafi dan Maliki, dan wajib menjauhi hal-hal pembatal puasa pada sisa hari itu.
Kafarat tidak wajib dilakukan gara-gara membatalkan puasa pada selain bulan Ramadhan, menurut mayoritas ulama.
Kafarat bertumpang tindih dan, karena itu, hanya wajib membayar satu kafarat meskipun pembatalan puasa terjadi berulang-ulang dalam beberapa hari, menurut mazhab Hanafi, tapi menurut jumhur, kafarat harus dibayar beberapa kali sesuai jumlah pembatalan puasa yang dilakukan dalam hari-hari yang berbeda.
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang wajib atas wanita yang disetubuhi suaminya dalam bulan Ramadhan.
Menurut mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali, wajib atasnya seperti apa yang wajib atas suaminya apabila ia secara sukarela membiarkan dirinya disetubuhi suaminya, tapi kalau ia dipaksa maka ia tidak wajib membayar kafarat.
Sedangkan menurut Syafi’i, ia tidak wajib membayar kafarat, melainkan hanya wajib mengqadha, baik ia melayani suaminya dengan sukarela atau ia dipaksa.
Tidak ada kafarat atas orang yang keluar maninya gara-gara memandang atau mengkhayal (menurut jumhur), sedangkan menurut mazhab Hambali ia harus membayar kafarat, dan puasanya juga tidak batal menurut mazhab Hanafi. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)