Hukum Makan makanan Haram saat Darurat, Boleh?

Daftar Isi
Hukum Makan makanan Haram saat Darurat

Bagi orang yang berada dalam keadaan darurat sehingga terpaksa memakan barang-barang haram ini, ia boleh memakannya sampai kenyang menurut Imam Malik, karena kondisi darurat telah menghapus keharamannya, sehingga bangkai, misalnya, berubah menjadi mubah.

Dengan demikian, makna “غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ” (bukan karena menginginkannya dan tidak pula) melampaui batas) adalah pemberontakan dan permusuhan terhadap penguasa, yaitu pemberontak dan perampok.

Sedangkan menurut jumhur, orang yang dalam keadaan darurat hanya boleh makan sampai batas terselamatkannya nyawanya, karena hukum pembolehan bangkai ini adalah darurat, maka kadarnya diperhitungkan sesuai dengan kondisi darurat itu.

Termasuk kondisi darurat antara lain: melancarkan makanan yang tersedak di tenggorokan dengan khamar, dan minum khamar untuk mengusir rasa haus.

Menurut jumhur, mudhtharr (orang yang berada dalam keadaan darurat) adalah orang yang kelaparan sehingga terpaksa makan. Termasuk pula dalam hal ini, menurut sebagian ulama, orang yang dipaksa memakan barang haram.

Contohnya, orang yang ditangkap musuh lalu dipaksa memakan daging babi atau lainnya yang tergolong perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala.

Jumhur ulama tidak membolehkan berobat dengan benda haram, seperti khamar atau bangkai, dengan dalil sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Mas’ud:

إن الله لم يجعل شفاء أمتي فيما حرم عليهم

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan umatku terletak pada apa yang diharamkan atas mereka.“

Dalil lainnya adalah sabda beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Thariq bin Suwaid ketika ia menanyai beliau tentang khamar dan beliau melarangnya membuatnya, lalu ia berkata, “Saya membuatnya tidak lain untuk menjadi obat,” Maka beliau bersabda:

إنه ليس بدواء ولكنه داء

Artinya: “Khamar bukan obat, tapi penyakit.

Kata Ibnul Arabi: Yang benar, tidak boleh berobat dengan bangkai sebab ada alternatif lain yang halal.

Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang orang yang kondisi daruratnya beriringan dengan suatu maksiat (misalnya merampok atau mengganggu keamanan jalan).

Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa Haram atasnya jika perjalanannya itu untuk melakukan maksiat, dan keharaman ini dikarenakan kemaksiatannya,.

Sebab Allah Swt membolehkan hal itu (memakan barang haram di kala kondisi darurat) sebagai bentuk pertolongan kepadanya.

Sedangkan pelaku maksiat tidak boleh ditolong untuk melakukan maksiatnya. Kalau ia ingin makan, hendaknya ia bertaubat dulu, baru makan.

Adapun orang yang berbuat maksiat di tengah perjalanannya, ia boleh mengambil keringanan-keringanan syar’i.

Adapun Imam Abu Hanifah membolehkan barang haram baginya, tak peduli apakah ia sedang menjalani ketaatan ataupun melakukan maksiat.

Imam Al-Qurthubi mentarjih pendapat tersebut, karena orang yang menghilangkan nyawanya sendiri dalam perjalanan maksiat lebih besar dosanya daripada dosa maksiat yang sedang dikerjakannya, dengan dalil firman Allah Ta’ala:

 “... Dan janganlah kamu membunuh dirimu ...” (QS. an-Nisaa’: 29)

Larangan ini sifatnya umum, juga karena bisa jadi ia akan bertobat dalam keadaan yang lain, sehingga tobat tersebut akan menghapus kesalahannya sebelum itu. 

Dalam kitab al-Muntaqa, al-Baji menyebutkan bahwa yang masyhur dari mazhab Malik adalah orang yang sedang dalam keadaan darurat boleh makan barang haram dalam perjalanan maksiat, tapi ia tidak boleh tak berpuasa dan mengqashar shalat.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

Sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas”.

Apabila orang yang dalam keadaan darurat itu mendapati lebih dari satu jenis barang yang haram, apa yang ia pilih?

Kata Ibnul Arabi: Kaidah untuk hokum-hukum ini adalah: kalau orang yang dalam keadaan darurat itu mendapati bangkai dan daging babi, hendaknya ia pilih bangkai sebab ia halal hukumnya ketika masih hidup sedangkan babi tidak halal, dan keharaman yang ringan lebih utama untuk diterjang daripada keharaman yang berat.

Kalau seseorang mendapati bangkai dan khamar, ia boleh makan bangkai secara halal berdasarkan dalil yang meyakinkan, sedangkan khamar masih terdapat kemungkinan antara boleh dan tidaknya.

Kalau ia mendapati bangkai dan harta milik orang lain: jika ia aman dart timbulnya mudarat terhadap badannya, hendaknya ia memakan harta orang lain, dan ia tidak halal memakan bangkai. 

Namun, kalau ia tidak aman dari mudarat, hendaknya ia memakan bangkai. Yang benar (berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i), ia tidak boleh memakan jenazah manusia lain kecuali jika ia merasa pasti bahwa hal itu akan menyelamatkannya dan mempertahankan hidupnya.

Kalau orang yang sedang melaksanakan ihram mendapati hewan buruan dan bangkai, hendaknya ia memakan hewan buruan karena pengharamannya bersifat temporer,.

Karenanya keharamannya lebih ringan, dan fidyahnya sah jika ia memakannya bukan dalam keadaan darurat, sedangkan bagi orang yang memakan bangkai tidak ada fidyah. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)