Rincian Hewan yang Halal dan Haram dalam Islam
Rincian Hewan yang Halal dan Haram dalam Islam menurut 4 Mazhab
Pendapat para fuqaha tentang hewan yang boleh dimakan dengan penyembelihan yang syar’i dikatagorikan kepada tiga macam: hewan air, hewan darat, dan hewan dua alam (hidup di darat dan di air). Berikut rinciannya!
1. Hewan yanh Hidup di Air
Tentang hewan air, yaitu yang hanya hidup di air, ada dua pendapat.
Mazhab Hanafi:
Semua hewan yang ada di air haram dimakan kecuali ikan saja, ia boleh dimakan tanpa disembelih kecuali ikan yang terapung.
Jadi, kalau ikan mati dan terapung di permukaan air, ia tidak boleh dimakan, dengan dalil hadis dha’if dari Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah:
ما ألقى البحرُ أو جزَر عنه فكُلوه وما مات فيه وَطْفًا فلا تأكُلوه
Artinya: “Hewan laut yang terlempar ke darat atau yang tertinggal di pantai ketika air laut surut, makanlah ia, sedang hewan yang mati di laut lalµ terapung di permukaan, janganlah kalian memakannya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Mazhab jumhur (selain mazhab Hanafi):
Hewan air (seperti: ikan, kepiting, ular air, anjing laut, babi laut) adalah halal, boleh dimakan tanpa disembelih, bagaimana pun cara matinya: baik mati sendiri atau karena suatu sebab yang suci (misalnya: terbentur batu, pukulan nelayan, kehabisan air), baik tenggelam maupun terapung.
Penangkapan hewan ini setara dengan penyembelihannya. Akan tetapi, jika ikan yang mati terapung itu sudah melembung sehingga dikhawatirkan mendatangkan penyakit, ia haram karena berbahaya.
Hanya saja Imam Malik menganggap babi laut makruh. Beliau berkata, “Kalian menyebutnya babi” Sedangkan Ibnul Qasim berkata, “Aku menghindarinya, tapi tidak memandangnya haram.”
2. Hewan yang hidup di Darat
Adapun hewan darat, yaitu yang hanya hidup di darat, ada tiga macam.
Pendapat Pertama:
Hewan yang sama sekali tidak punya darah, seperti: belalang, lalat, semut, lebah, cacing/ulat, kumbang, jengkerik, lipas, kalajengking, hewan-hewan beracun, dan sejenisnya ...
Semuanya yang tersebut di atas (kecuali belalang) tidak halal dimakan karena semua itu tergolong hewan yang buruk dan tidak baik sebab tabiat yang sehat tidak menyukainya, dan Allah Ta’ala telah berfirman:
“.. Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...” (QS. al-A’raaf: 157)
Mazhab Maliki mensyaratkan penyembelihan belalang. Bangkai belalang haram hukumnya menurut mereka, karena hadis “Dihalalkan bagi kita dua bangkai” lemah.
Adapun mazhab Hanafi yang tidak membolehkan pengkhususan Al-Qur’an dengan As-Sunnah berkata: Yang mengkhususkan hukum bangkai ikan adalah firman Allah Ta’ala:
“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. al- Maa’idah: 96)
“Binatang buruan laut” adalah hewan yang ditangkap dengan suatu usaha, sedangkan “makanan laut” adalah hewan yang ditemukan mati terapung atau yang tertinggal di pantai ketika air laut surut.
Akan tetapi mazhab Hanafi tidak membolehkan memakan ikan yang mati terapung.
Pendapat Kedua:
hewan yang tidak punya darah yang mengalir, seperti: ular, tokek, semua serangga dan hama (seperti: tikus, kutu hewan, landak, jerboa, dan kadal).
Semuanya haram dimakan karena dianggap kotor, di samping karena beracun, dan juga karena Nabi Saw memerintahkan kita membunuhnya.
Mazhab Hanafi mengharamkan kadal sebab Nabi Saw melarang Aisyah ketika ia menanyai beliau tentang hukum memakannya.
Sedangkan jumhur membolehkannya karena Nabi Saw membiarkan sahabat yang memakan kadal di hadapan beliau. Sementara itu mazhab Syafi’i membolehkan memakan landak dan ibnu ‘irs (kuskus).
Pendapat Ketiga:
Hewan yang punya darah yang mengalir. Yang jenis ini ada yang jinak dan ada yang liar. Hewan yang jinak yang halal dimakan-berdasarkan ijmak-adalah hewan ternak: unta, sapi, dan kambing.
Bagal (peranakan keledai dan kuda) dan keledai haram dimakan. Daging kuda halal hukumnya tapi makruh tanziihan menurut Abu Hanifah karena hewan ini dipakai sebagai kendaraan dan dipergunakan untuk berjihad. Pendapat yang masyhur di kalangan mazbab Maliki adalah kuda haram dimakan.
Hewan buas yang jinak, yaitu anjing dan kucing, haram dimakan.
Adapun tentang hewan yang liar, jumhur (selain Imam Malik) mengharamkan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang berkuku tajam, karena semua hewan tersebut memakan bangkai.
Sedangkan Imam Malik memakruhkan daging hewan buas, sementara burung yang berkuku tajam boleh dimakan, dengan dalil makna lahiriah ayat:
“Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya ..” (QS. al-An’aam: 145)
Jadi, orang yang menghalalkan salah satu dari hewan-hewan yang disebutkan di atas bersandar kepada keumuman ayat ini, dan mengartikan larangan yang terdapat di dalam hadis sebagai sekadar larangan yang bersifat makruh, atau ia menggugurkan hadis itu karena bertentangan dengan ayat ini.
Sedangkan orang yang mengharamkan salah satu dari hewan di atas bersandar kepada hadis yang menyebutkan pengharamannya, dan ia menganggap hadis tersebut menasakhkan ayat ini, atau ia memandang bahwa tidak ada pertentangan antara keduanya.
Abu Hanifah mengharamkan janin yang induknya disembelih dan janin itu keluar dalam keadaan mati, dengan dalil bahwa janin itu bangkai, dan ayat di atas telah mengharamkan bangkai.
Kedua muridnya (Abu Yusuf dan Muhammad), Syafi’i, dan Ahmad berbeda pendapat dengannya. Menurut mereka, janin itu halal karena ia sudah tersembelih dengan penyembelihan terhadap induknya.
Adapun Imam Malik berkata: Jika fisiknya sudah tercipta dengan sempurna dan bulunya telah tumbuh, ia boleh dimakan, kalau belum, tidak boleh dimakan. Dalil jumhur adalah sabda Rasulullah Saw:
ذكاة الجنين ذكاة أمه
Artinya: “Penyembelihan janin terlaksana dengan penyembelihan induknya.”
Ini berarti bahwa penyembelihan induk merembet hukumnya terhadap si janin. Para pendukung Abu Hanifah menakwilkan hadis di atas begini: penyembelihan janin seperti penyembelihan induknya.
Namun, ini adalah takwil yang jauh, karena hadis ini berkenaan dengan sebuah pertanyaan. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya tentang hukum janin yang keluar dalam keadaan mati, maka beliau bersabda:
إن شئتم فكلوهإن ذكاته ذكاة أمه
Artinya: “Kalau kalian mau, silahkan makan, sebab penyembelihan janin terlaksana dengan penyembelihan induknya.”
3. Hewan yang hidup di dua tempat
Adapun hewan yang hidup di dua alam (di darat dan di air) seperti katak, kura-kura, kepiting, ular, buaya, anjing laut, dan sebagainya ... ada tiga pendapat tentangnya:
Rinciannya baca …. Amfibi: Hewan yang Hidup di dua tempat, Halal atau Haram?
(Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)