Terjadinya Nasakh pada Al-Qur’an dan Macam-Macamnya
Nasakh boleh terjadi menurut logika akal dan ini adalah ijmak para pemeluk berbagai syariat, kecuali kaum Yahudi dan Nasrani.
Di samping itu, nasakh benar-benar terjadi menurut bukti-bukti syariat Islam, dan hal ini adalah ijmak kaum muslimin kecuali Abu Muslim al-Ashfahani.
Dalil kebolehan menurut logika akal adalah: asumsi terjadinya nasakh itu tidak berakibat mustahil, dan inilah makna kebolehan itu.
Alasannya, hukum-bukum Allah Ta’ala itu jika tidak diperhitungkan maslahat manusia dalam pensyariatan hukum-hukum tersebut mengikuti kehendak Allah; penghapusan itu pun perbuatan Allah, dan Allah melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya serta menetapkan hukum apa pun yang diinginkan-Nya.
Terkadang Allah Swt memerintahkan suatu perbuatan di satu waktu dan melarangnya di waktu lain. Contohnya, Allah memerintahkan puasa pada siang hari bulan Ramadhan dan melarangnya pada hari ‘Id.
Adapun kalau kita perhitungkan maslahat manusia dalam hukum-hukum Allah, yakni bahwa penetapan hukum syariat itu disesuaikan dengan maslahat manusia. Maka maslahat itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu dan masa.
Sesuatu yang menjadi maslahat bagi seseorang atau suatu masa terkadang tidak menjadi maslahat bahwa individu lainnya atau masa lainnya.
Karena maslahat itu berubah-ubah, sementara pensyariatan hukum-hukum itu disesuaikan dengan maslahat, maka nasakh menjadi perkara yang mungkin, tidak mustahil, dan boleh terjadi menurut pertimbangan akal.
Dalil-dalil yang membuktikan bahwa nasakh benar-benar terjadi amat banyak. Di antaranya, ijmak para sahabat dan generasi salaf bahwa syariat Nabi Muhammad Saw menghapus semua syariat sebelumnya, yakni selain hal-hal yang menyangkut pokok-pokok akidah dan akhlak.
Contohnya, pengharaman lemak hewan serta setiap binatang yang berkuku atas kaum Yahudi akibat kezaliman mereka dan akibat mereka memakan harta orang lain dengan cara batil (dengan riba dan sebagainya).
Dalil lainnya adalah ijmak atas penghapusan wajibnya menghadap ke Baitul Maqdis (diganti dengan menghadap ke Ka’bah), penghapusan wasiat bagi kedua orang tua dan kaum kerabat (dihapus dengan turunnya ayat yang mengatur tata cara pembagian warisan).
Juga nasakh pada penghapusan puasa Asyura (diganti dengan puasa Ramadhan), dan penghapusan wajibnya mengeluarkan sedekah ketika hendak mengadakan perbincangan khusus dengan Nab Muhammad Saw.
Adapun Abu Muslim al-Ashfahani, seorang ulama tafsir yang wafat pada tahun 322 H, membolehkan nasakh secara mutlak di antara berbagai syariat (inilah riwayat yang masyhur darinya).
Namun, dia mengingkari terjadinya nasakh dalam satu syariat. Dalil yang dipegangnya adalah firman Allah Ta’ala tentang sifat Al-Qur’an:
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
Seandainya nasakh terjadi dalam Al-Qur’an, berarti kebatilan datang kepadanya. Namun, argumen ini dibantah beglni: nasakh adalah pembatalan, bukan kebatilan.
Sebab nasakh adalah kebenaran, dan kebatilan adalah lawan kebenaran; yang berlangsung dalam proses nasakh hanyalah tidak berlakunya lagi hukum yang dinasakh.
Jadi, ayat ini tidak dapat menjadi dalil bagi pendapat al-Ashfahani.
Sementara itu, setiap ayat yang dikatakan mansukh oleh para ulama ditakwilkan olehnya dengan takhshiish (mengkhususkan cakupan hukumnya), atau dengan berakhirnya masa berlaku hukum syar'i itu.
Atau dengan membatasinya dengan kondisi tertentu, individu tertentu, dan sejenisnya, sebagaimana ia lakukan mengenai ayat-ayat iddah, ayat-ayat peperangan, dan ayat-ayat lainnya.
Macam-Macam Nasakh dalam Al-Qur’an
Nasakh punya sembilan keadaan, yang terpenting di antaranya tiga:
1. Penghapusan tilawah dan hukum sekaligus
Penghapusan tilawah dan hukum sekaligus. Contohnya: penghapusan shuhuf (kitab-kitab) Ibrahim, Musa dan para rasul terdahulu.
Contoh lainnya: penghapusan jumlah susuan dari sepuluh kali menjadi lima kali. Aisyah r.ah berkata sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim dan lainnya:
“Dulu di dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi ‘Sepuluh kali susuan menimbulkan hubungan kemahraman’.
Kemudian hukum ini dinasakh dengan ‘lima kali susuan menimbulkan hubungan kemahraman’. Ketika Rasulullah Saw wafat, masih ada sebagian orang yang membaca ayat ini sebagal bagian dari Al-Qur’an.”
Bagian yang pertama (sepuluh kali susuan) dinasakh hukum dan tilawahnya, sedangkan bagian kedua (lima kali susuan) dinasakh tilawahnya saja sementara hukumnya masih berlaku, menurut mazhab Syafi’i.
2. Penghapusan tilawah tetapi hukumnya tidak dihapus.
Nasakh ini contohnya: Ucapan Umar r.a: “Dulu ada ayat yang berbunyi: ‘Apabila lelaki dan wanitayang sudah menikah berzina, rajamlah mereka, sebagai hukuman dari Allah dan rasul-Nya.”
Dalam hadis shahih disebutkan bahwa ayat ini dulunya termasuk bagian dari Al-Qur’an, kemudian lafalnya dihapus, sementara hukumnya tetap berlaku.
Para ulama mazhab Hanafi menambahkan beberapa contoh lain dari qiraˋaat syaaddzah (bacaan Al-Qur’an yang jalur periwayatannya tidak memenuhi standar).
Misalnya, bacaan Ibnu Mas’ud tentang puasa kafarat sumpah: (فصيام ثلاثة أيام متتابعات), bacaan Ibnu Abbas: (فأفطر فعدة من أيام أخر) dan bacaan Sa’d bin Abi Waqqash: (وله أخ أو أخت لأم، فلكل واحد منهما السدس)
3. Penghapusan hukum saja sementara ttlawahnya tldak dihapus
Nasakh macam ketiga ialah penghapusan hukum saja sementara tilawahnya tidak dihapus, yang jenis ini banyak. Misalnya, penghapusan hukum ayat wasiat bagi kedua orang tua dan kaum kerabat.
Contoh lain ialah penghapusan ayat iddah selama satu tahun penuh, penghapusan ayat hukuman kurungan rumah bagi wanita dan hukuman caci maki bagi laki-laki apabila mereka berzina.
Juga penghapusan ayat pemberian sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah Saw. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)