Fidyah (Denda) dalam Pelaksanaan Haji Tamattu’
Barangsiapa telah aman dari musuh dunia bisa melakukan larangan-larangan ihram lantaran ia sudah bertahalul dari ihram umrah, dan ia terus dalam keadaan demikian sampai waktu haji serta ia akan berihram haji dari Makkah, maka ia harus membayar dam, yaitu menyembelih seekor kambing sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.
Kurban ini disembelih pada hari Kurban di Mina dan ia boleh memakannya, sama seperti udhhiyah (kurban yang disembelih selain jamaah haji), atau ia menyembelihnya di Makkah (menurut Syafi’i).
Pada zaman sekarang hal ini mewuiudkan faedah yang lebih banyak karena ia dapat disampaikan kepada kaum fakir miskin. Pelaksana haji qiran sama hukumnya seperti pelaksana haji tamattu’ dalam hal wajibnya membayar fidyah, sebab tamattu’ mencakup dua makna:
(1) kebolehan tamattu’ (mengambil kesenangan) dengan istri danberlaku mewah dengan melakukan larangan-larangan ihram, dan
(2) penggabungan haji dengan umrah dalam bulan-bulan haji dengan satu amalan yang sama.
Barangsiapa tidak mendapatkan hewan kurban karena hewannya tidak ada, atau ia tidak punya uang untuk membelinya, maka ia harus berpuasa selama tiga hari sesudah berihram haji sebelum tanggal 6 Dzulhijjah sebelum hari Tarwiyah dan hari Arafah, lalu ia melanjutkan puasanya tujuh hari setibanya ia di kampung halaman, atau setelah ia berangkat pulang.
Jadi, ia boleh mengerjakan puasa tujuh hari itu dalam perjalanan pulang.
Tiga hari ditambah tujuh hari ini menjadi sepuluh hari yang sempurna. Allah menyebutkan hal ini untuk menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sab’ah adalah jumlah tujuh, bukan “banyak yang tak tertentu jumlahnya”.
Ia disifati dengan ,”sempurna” untuk mengingatkan bahwa jumlah tersebut menjadi syarat, tidak boleh dikurangi sedikit pun selain itu penyifatan ini juga untuk mengisyaratkan bahwa amalan pengganti itu benar-benar menggantikan perkara yang diganti, dan keduanya sama dalam hal keutamaan.
Tamattu’ (dengan menyelesaikan amalan-amalan umrah kemudian berihram haji dan membayar fidyah) merupakan keringanan dan rukhshah bagi orang-orang yang datang dari negeri-negeri yang jauh, dan ini tidak berlaku bagi penduduk tanah Haram.
Sebab orang yang datang dari tempat jauh menanggung kesulitan perjalanan yang lebih besar dari pada yang dialami orang yang bermukim di Makkah.
Sehingga orang-orang yang jauh itulah yang memerlukan keringanan ini, agar tidak hanya mereka sendirian yang menunaikan beban haji dan umrah. Adapun penduduk tanah Haram tidak membutuhkan keringanan ini.
Jadi, tidak ada cara tamattu’ maupun qiran bagi orang-orang yang tinggal di sekitar Masjidilharam (penduduk Makkah).
Dan bertakwalah serta takutlah kepadaAllah dengan senantiasa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Janganlah kalian melampaui batas dalam hal itu, dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya terhadap orang yang melampaui batas-batas Allah Ta’ala.
Sebagaimana telah diketahui, cara-cara pelaksanaan haji dan umrah yang boleh menurut ijmak ada tiga:
Pertama: Ifrad, yaitu berihram haji saja, kemudian berihram umrah setelah usai amalan haji.
Kedua: Tamattu’, yaifu berihram umrah pada bulan-bulan haji dari miqat dan pelaksananya adalah afaqiy (selain penduduk tanah Haram), selanjutnya ia berihram haji dari Makkah.
Ketiga: Qiran, yaitu berihram haji dan umrah sekaligus, atau berihram salah satunya kemudian memasukkan yang lain pada bulan-bulan haji di tahun yang sama.
Mana yang paling afdhal di antara ketiga cara ini? Ada tiga pendapat di kalangan para ulama, sebagai berikut.
Menurut mazhab Hanafi, qiran paling afdhal, selanjutnya tamattu’, lalu ifrad. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dari Ummu Salamah:
اهلوا يا آل محمد بعمرة في حجة
Artinya: “Wahai keluarga Muhammad, berihramlah dengan umrah dalam haji.”
Sayyidina Anas berkata dalam riwayat Bukhari dan Muslim: “Aku dulu mendengar Rasulullah Saw berihram haji dan umrah. Beliau berucap begini: Labbaika umratan wa hajjatan (Aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji).”
Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, ifrad paling afdhal, lalu tamattu’, kemudian qiran, sebab dulu Nabi Saw mengerjakan haji dengan cara ifrad (menurut pendapat yang paling shahih).
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah pernah berkata:”Kami berangkat bersama Rasulullah Saw pada tahun haji Wada’. Di antara kami ada yang berihram umrah dan ada pula yang berihram haji dan umrah.
Sementara Rasulullah Saw berihram haji.” Diriwayatkan pula sebuah hadits yang lain: “Qiran adalah rukhshah.”
Alasan lainnya, karena dalam ifrad ada tambahan talbiah, perjalanan, dan pencukuran rambut dan besarnya pahala disesuaikan dengan kesulitan yang dialami mukalaf. Inilah pendapat yang paling benar.
Adapun menurut mazhab Hambali, tamattu’ paling afdhal, lalu ifrad, lalu qiran, karena tamattu’ disebutkan di dalam Al-Qur’-an.
Hal ini juga didasarkan atas hadits riwayat Bukhari dan Musim dari Ibnu Umar: “Pada tahun haji Wada’ Rasulullah Saw melakukan haji tamattu’, dan beliau membawa hewan kurbannya dari Dzulhulaifah.” Dan beliau bersabda:
لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي ولجعلتها عمرة
Artinya: “Seandainya dulu aku mengetahui perkara yang bakal terjadi di masa depan, tentu aku tidak membawa hewan kurban, dan tentu kujadikan ihramku ini umrah.”
Terlepas dari hal di atas, ayat ini tidak menjadi dalil bagi salah satu dari madzhab-madzhab tersebut sebab ayat ini hanya berisi perintah untuk menyempurnakan, dan itu tidak bisa menguatkan salah satu madzhab itu.
Jadi, dalam masalah ini yang menjadi pegangan adalah dalil dari As-Sunnah dan pentarjihan di antara riwayat-riwayat yang ada.
Perlu diketahui bahwa barang siapa berumrah dalam bulan-bulan haji kemudian ia pulang ke kampung halamannya lalu ia mengerjakan haji pada tahun yang sama, maka ia bukan tergolong pelaksana cara tamattu’ menurut jumhur.
Para ulama hadits mengkompromikan riwayat-riwayat tentang hajinya Rasulullah Saw dengan beberapa cara, yang terkuat begini: beliau mula-mula berihram haji secara ifrad, kemudian beliau memasukkan umrah ke dalamnya sehingga cara yang beliau ambil berubah menjadi qiran.
Dengan demikian pendapat yang mengatakan beliau melaksanakan haji ifrad diartikan bahwa maksudnya adalah ihram yang pertama-tama beliau lakukan.
Sedang pendapat yang mengatakan beliau melakukan haji qiran diartikan bahwa maksudnya adalah apa yang beliau kerjakan pada akhirnya, yaitu memasukkan umrah ke dalam haji. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)