Hukum Membaca al-Fatihah di dalam Shalat
Ada dua pendapat di antara para ulama tentang wajibnya membaca al-Faatihah di dalam shalat.
Pendapat pertama dipegang mazhab Hanafi: Tidak wajib membaca al-Fatihah: yang wajib bagi Imam dan orang yang shalat sendirian adalah membaca apa saja, yakni membaca ayat apa pun dari Al-Qur’an.
Ayat yang dibaca tersebugt dengan batas minimal (menurut Abu Hanifah) satu ayat yang terdiri dari enam huruf, misalnya ayat 21 surah al-Muddatstsir: (Tsumma Nazar).
Meskipun hanya secara taqdiiriy (perkiraan), misalnya ayat 3 surah al-Ikhlash: (lam Yalid), sebab bentuk aslinya adalah (lam yulad).
Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad, yang fardhu dalam bacaan adalah tiga ayat pendek atau satu ayat panjang. Mereka berdalil dengan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ma’qul.
Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (Qs. al-Muzzammil: 20)
Ini adalah perintah untuk membaca secara bebas, maka perintah ini dapat terlaksana dengan membaca satu kelompok terkecil yang bisa disebut “Al-Qur’an”.
Dalil dari As-Sunnah adalah hadis tentang orang yang tidak bagus shalatnya:
إذا قُمْتَ إلى الصَّلاةِ، فأسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ، فَكَبِّرْ واقْرَأْ بما تَيَسَّرَ معكَ مِنَ القُرْآنِ،. (صحيح البخاري)
Artinya: “Apabila engkau hendak menunaikan shalat, berwudhulah dengan sempurna lalu menghadaplah ke arah kiblat, kemudian bertakbirlah, lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (HR. Imam al-Bukhari)
Adapun hadis:
لا صَلاةَ لِمَن لَمْ يَقْرَأْ بفاتِحَةِ الكِتابِ.. (صحيح البخاري)
Artinya: “Tiada shalat bagi orangyang tidak membaca surah al-Faatihah.” (HR. Imam al-Bukhari)
Diartikan bahwa peniadaan di sini adalah keutamaan, bukan keabsahan. Jadi, arti hadis ini: “Tiada shalat yang sempurna bagi.. ..”
Dalil ma’qul mereka adalah tidak boleh menambahkan sesuatu berdasarkan khabar wahid (hadis yang disampaikan oleh satu orang) yang sifatnya zhanni atas perkara yang kefardhuannya berlandaskan dalil qath’i dalam Al-Qur’an.
Akan tetapi khabar wahid menuntut wajibnya pengamalan sesuatu tersebut, bukan menuntut kefardhuannya.
Karena itu, mereka berpendapat bahwa membaca surah al-Fatihah hukumnya wajib saja, dalam arti bahwa shalat tetap sah tanpa membaca al-Fatihah, hanya saja hukumnya makruh tahriman (makruh yang dekat kepada haram).
Bagi makmum tidak ada kewajiban membaca surah atau ayat apa pun, menurut mazhab Hanafi, baik dalam shalat yang bacaannya samar maupun yang bacaannya keras.
Mereka juga berargumen dengan dalil dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan qiyas. Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik; dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Ayat ini menyuruh kita mendengarkan baik-baik dan memperhatikan dengan tenang, dan “mendengarkan” itu khusus untuk shalat yang bacaannya keras.
Sedangkan “memperhatikan dengan tenang” mencakup shalat yang bacaannya samar maupun yang bacaannya keras.
Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi Saw:
مَن صلى خلفَ الإمامِ فإنّ قراءةَ الإمامِ لهُ قراءةٌ.
Artinya: “Barangsiapa menunaikan shalat di belakang imam, maka bacaan imam terhitung sebagai bacaannya pula.” (HR. Imam Abu Hanifah)
Ini meliputi shalat yang bacaannya samar dan shalat yang bacaannya keras.
Adapun dalil dari qiyas adalah bahwa jika makmum wajib membaca, tentu kewajiban tersebut tidak gugur dari tanggungan orang yang masbuk, seperti halnya rukun-rukun shalat lainnya.
Jadi, mereka mengqiyaskan bacaan makmum kepada bacaan orang yang masbuk dalam hukum shalatnya; maka bacaan tersebut tidak masyru;
Pendapat kedua dipegang mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Wajib membaca surah al-Faatihah itu sendiri dalam shalat bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:
لا صَلاةَ لِمَن لَمْ يَقْرَأْ بفاتِحَةِ الكِتابِ.. (صحيح البخاري)
Artinya: “Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-Faatihah.” (HR. Imam al-Bukhari)
Mereka mengartikan peniadaan di sini sebagai peniadaan hakikat shalat tersebut (bukan peniadaan keutamaannya) sebab yang asli dan yang paling kuat adalah bahwa peniadaan itu berlaku secara umum.
Jadi, arti hadis ini: tiada shalat yang sah bagi...; dan peniadaan keabsahan sangat dekat dengan peniadaan hakikat. Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah saw:
لا تُجزِئ صلاةٌ لا يُقرأُ فيها بفاتحةِ الكتابِ
Artinya: “Tidak cukup/sah shalat yang di dalamnya tidak dibaca al-Fatihah.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Dalil selanjutnya adalah perbuatan Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, dengan disertai dalil dari hadis Bukhari:
Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Imam al-Bukhari)
Kata Imam al-Qurthubi: Yang benar di antara pendapat-pendapat lni adalah pendapat Imam Syafi’i, Ahmad, dan Malik (yakni pendapat kedua), bahwa al-Fatihah mesti dibaca dalam setiap rakaat oleh setiap orang secara umum.
Menurut mazhab Syafi’i, al-Fatihah harus dibaca dalam setiap rakaat bagi imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian, baik shalatnya itu shalat sirriyyah maupun jahriyyah, fardhu maupun sunnah.
Dalil mereka adalah hadis: “Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah.” dan hadis:
صلّى رسولُ اللهِ ﷺ الصُّبحَ، فَثقُلَتْ علَيهِ القراءةُ، فلمّا انصرَفَ قالَ: إنِّي أراكُم تقرَءونَ وراءَ إمامِكُم؟ قالَ: قُلنا: يا رسولَ اللهِ: إي واللهِ قالَ فلا تَفعلوا إلّا بأمِّ القرآنِ فإنّهُ لا صَلاةَ لمن لم يَقرأْ بِها. (الترمذي)
Artinya: Suatu hari Rasulullah Saw menunaikan shalat subuh dan beliau mengalami kesulitan ketika membaca surah. Usai shalat beliau bersabda, “Tampaknya kalian membaca di belakang imam?” Kami menyahut, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lantas bersabda, “Jangan berbuat begitu kecuali dalam bacaan al-Fatihah, sebab tiada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” (HR. Imam at-Tirmidzi)
Ini adalah nash yang shariih (jelas, gamblang) yang khusus berbicara tentang bacaan makmum, serta menunjukkan kefardhuan bacaan al-Fatihah.
Peniadaan ini, lahirnya, tertuju kepada al-ijzaa’, sehingga artinya: tiada shalat yang cukup/sah, dan ini pada akhirnya juga sama dengan peniadaan hakikat shalat itu sendiri.
Bacaan al-Fatihah dikecualikan dari nash Al-Qur’an yang memerintahkan untuk mendengarkannya baik-baik dan memperhatikannya dengan tenang.
Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa makmum tidak membaca al-Fatihah dalam shalat jahriyyah, tetapi disunnahkan baginya membacanya dalam shalat sirriyyah.
Karena perintah Al-Qur’an untuk mendengarkan dan memperhatikan bacaan Al-Qur’an khusus berlaku bagi shalat jahriyyah, dengan dalil:
أنّ رسولَ اللهِ ﷺ: انصرف من صلاةٍ جَهَر فيها بالقراءةِ، فقال: (هل قرأ معي أحدٌ منكم آنفًا)؟ فقال رجلٌ: نعم يا رسولَ اللهِ، قال: (إني أقولُ ما لي أُنازَعُ القرآنَ)؟ ! قال: فانتهى الناسُ عن القراءةِ مع رسولِ اللهِ ﷺ فيما يَجْهَرُ فيه رسولُ اللهِ ﷺ من الصلواتِ بالقراءةِ حين سَمِعُوا ذلك من رسولِ اللهِ ﷺ.
(سنن الترمذي)
Artinya: Suatu ketika, usai mengerjakan suatu shalat yang bacaannya jahr (keras), Nabi Saw bertanya, “Apakah tadi ada di antara kalian yang membaca bersamakui?” Seorang pria menyahui, “Ya!, wahai Rasulullah.” Beliau lantas bersabda, “Pantas saja. Tadi aku merasa heran mengapa aku disaingi dalam membaca Al-Qur’an.” Sesudah mendengar teguran Rasulullah Saw ini, akhirnya orang-orang tidak lagi membaca Al-Qur’an bersama beliau dalam shalat yang bacaannya dilakukan secara Jahr (keras). (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi)
Hadis ini secara Jelas menunjukkan kemakruhan membaca Al-Qur’an bagi makmum dalam shalat jahriyyah. Adapun dalil mereka atas kesunnahan membaca dalam shalat sirriyyah adalah sabda Nabi Saw:
إذا أسررتُ بقراءتِي فاقرَؤوا
Artinya: “Apabila aku membaca dengan suara samar, silakan kalian membaca pula.” (HR. Daraquthni dan Tirmidzi)
(Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)