Puasa Wishal dalam Hadis Nabi SAW, Bolehkah?

Daftar Isi
Puasa Wishal dalam Hadis Nabi SAW

Firman Allah Ta’ala “ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ” menunjukkan bahwa puasa wishal terlarang, sebab malam merupakan ghaayah (batas akhir) puasa. Larangan puasa ini ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Rasulullah Saw bersabda:

إيّاكم والوِصالَ، إيّاكم والوِصالَ

Artinya: “Janganlah kalian melakukan puasa wishal, janganlah kalian melakukan puasa wishal.

Puasa wishal hukumnya makruh menurut jumhur ulama. Namun, sebagian ulama mengharamkannya karena puasa ini bertentangan dengan lahiriah nash Al-Qur’an dan tergolong perbuatan meniru Ahli Kitab.

Imma Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan:

إنَّ فَصْلَ ما بين صيامِنا وصيامِ أهلِ الكتابِ أَكْلةُ السَّحَرِ.

Artinya: “Yang membedakan puasa kita dari puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.”

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

لا تُواصِلُوا، فأيُّكُمْ أرادَ أنْ يُواصِلَ، فَلْيُواصِلْ حتّى السَّحَرِ، قالوا: فإنَّكَ تُواصِلُ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إنِّي أبِيتُ لي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي، وساقٍ يَسْقِينِ. ( صحيح البخاري)

Artinya: “Janganlah kalian melakukan puasa wishal. Siapa pun yang ingin melakukannya, hendaknya ia mengerjakannya sampai waktu sahur saja. Para sahabat menyahut, ‘Tapi mengapa Anda sendiri melakukan puasa wishal, wahai Rasulullah?’ Beliau basabda. “Aku tak sama dengan kalian sebab Tuhan memberiku makan dan minum.”

Hadis tersebut menunjukkan bolehnya menunda buka puasa sampai waktu sahur dan itulah batas akhir bagi orang yang ingin melakukan puasa wishal.

Tidak boleh seseorang menyambung puasa hari ini dengan hari berikutnya (tanpa makan apa pun pada malam harinya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Wahb (murid Imam Malik).

Imam AI-Qurthubi menulis: Meninggalkan puasa wishal pada saat Islam jaya dan musuh telah ditundukkan lebih utama, dan itu merupakan derajat dan maqam yang tertinggal.

Ayat 187 Surat Al-Baqarah ini juga menunjukkan bahwa waktu berbuka adalah pada saat matahari terbenam, dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Umar r.a, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

إذا أقبل الليل من ها هنا وأدبرالنهار من ها هنا فقد أفطر الصائم

Artinya: “Apabila malam telah datang dari arah sini (timur) dan siang telah menyingkir dari arah sini (barat), berarti itulah waktunya berbuka bagi orang yang berpuasa.

Berdasarkan ayat ini mazbab Hanafi memandang bahwa puasa tathawwu’ (sunnah) yang sudah dimulai harus dikerjakan sampai selesai, karena kata asn-shiyaam meliputi semua puasa.

Jadi, semua puasa yang telah dimulai harus dikerjakan sampai sempurna sebab Allah Swt memerintahkan kita menyempurnakan puasa sampai malam, dan ada kaidah yang berbunyi al-amru lil-wujuub (perintah menunjukkan wajibnya perkara yang dlperintahkan).

Oleh karena itu, bila seseorang tidak menyempurnakan puasanya sampai terbenamnya matahari, ia harus menqadhanya.

Hukum yang sama berlaku dalam semua amal sunnah, seperti shalat, haji, dan puasa ... semuanya wajib disempurnakan apabila telah dimulai.

Juga amal-amal itu harus diulangi jika tidak sempurna, baik ketidaksempurnaan itu terjadi karena ada uzur maupun tanpa ada uzur. Dalil mereka adalah firman-Nya:

Dan Janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Amal sunnah yang telah dimulai juga tergolong amal (yang disebutkan dalam ayat ini), maka dari itu tidak boleh dirusakkan, dan apabila amal itu rusak atau orang itu membatalkannya, berarti ia telah meninggalkan sebuah kewajiban. Dan tanggungannya tidak akan bebas kecuali dengan mengulangi amal sunnah tersebut. 

Mazhab Imam Malik memerinci: Jika si pelaksana membatalkan amal itu, ia harus menqadha; tapi jika ada faktor lain yang merusak (membatalkan) amal itu, ia tidak harus menqadha.

Sedangkan mazhab Syafi’i dan Hanbali berkata: Jika ia membatalkan amal sunnah yang telah dimulainya, ia tidak harus menqadha kecuali dalam haji sunnah menurut mazhab Hanbali (haji sunnah ini wajib disempurnakan). Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala:

... Tidak ada alasan apa pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik...” (QS. at-Taubah: 91)

Juga sabda Rasulullah Saw:

الصائم المتطوع أمير نفسه

Artinya: “Orang-orang yang melakukan puasa sunnah adalah pemimpin dirinya sendiri.”

(Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)