Perintah Beri'tikaf di Masjid, Begini pandangan Ulama!

Daftar Isi
Perintah Beri'tikaf di Masjid

Disunahkan beri’tikaf di masjid. Arti I’tikaf dalam bahasa Arab adalah menetap, sedangkan artinya dalam istilah syariat adalah melaksanakan suatu ketaatan khusus secara terus-rnenerus pada waktu yang khusus, dengan syarat khusus, di tempat khusus.

Para ulama berijmak bahwa i’tikaf tidak wajib, melainkan tergolong ibadah sunnah yang telah dikerjakan oleh Rasulullah Saw, para sahabatnya, serta istri-istrinya. Ia berubah menjadl wajib (harus dilaksanakan) apabila dinazarkan.

Para ulama berijmak bahwa tempat i’tikaf hanyalah di masjid, dengan dalil firman-Nya, “Di dalam masjid”.

Menurut mazhab Maliki, batas minimal I’tikaf adalah sehari semalam. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad, minimalnya adalah sesaat, dan tidak ada batas untuk batas maksimalnya. Menurut mereka, tidak disyaratkan puasa untuk I’tikaf.

Sedang mazhab Maliki menjadikan puasa sebagai syarat mutiak baginya. Mazhab Hanafi mensyaratkannya dalam I’tikaf yang dinazarkan saja, tidak dalam I’tikaf yang sunnah.

Dalil orang-orang yang mensyaratkan puasa adalah hadis dha’if yang diriwayatkan oleh Daraquthni dan Baihaqi, yaitu:

لا اعتكاف إلا بصوم

Artinya “Tiada i’tikaf (yang suci) kecuali jika diiringi dengan puasa.

Orang yang beri’tikaf tidak boleh keluar darl tempat i’tikafnya kecuali untuk keperluan yang tak bisa dihindari. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, katanya:

Apabila sedang bert’tikaf, Rasulullah Saw mendekatkan kepalanya kepadaku agar kusisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk memenuhi hajat manusiawi.” Maksudnya, buang air besar dan kecil.

Bagi orang yang beri’tikaf pada sepuluh hart terakhir di bulan Ramadhan, Imam Malik dan Ahmad menganjurkannya menginap di masjid pada malam Idul Fitri, hingga ia berangkat dari sana menuju ke lapangan tempat shalat ‘Id.

Sedangkan Syafi’i dan al-Auza’i berkata: Ia keluar dari tempat i’tikafnya apabila matahari telah terbenam (pada hari terakhir Ramadhan). (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)