Kandungan Fiqih dan Hukum dalam Surah Al-Baqarah ayat 184

Daftar Isi
Isi Kandungan Fiqih dan Hukum dalam Surat Al-Baqarah ayat 184

Surah Al-Baqarah ayat 184 ini mengandung banyak hukum. Saya akan menerangkannya secara ringkas sebagai berikut:

1. Orang sakit dan musafir boleh tak berpuasa di bulan Ramadhan

Orang sakit dan musafir boleh tak berpuasa di bulan Ramadhan, dan keduanya wajib mengqadha pada waktu yang lain.

Penyakit yang membolehkan untuk tak berpuasa, menurut mayoritas fukaha, adalah yang mengakibatkan mudarat pada jiwa atau menambah parahnya penyakit yang diperhitungkan dalam hal itu adalah dugaan yang kuat.

Standar inilah yang sesuai dengan hikmah rukhshah dalam ayat ini: yaitu menghendaki kemudahan dan menolak kesukaran.

Lahiriah ayat ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan adalah penyakit apa pun, yang bisa disebut “penyakit”, dan ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Atha’, dan Imam Bukhari.

Adapun perjalanan yang membolehkan untuk tak berpuasa adalah yang membolehkan untuk mengqashar shalat empat rakaat.

2. Keringanan dalam Berpuasa

Firman Allah Ta’ala “فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ” menunjukkan bahwa kewajiban asli bagi orang sakit atau musafir adalah puasa, hanya saja ia mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.

Jadi, kalau ia tak berpuasa, hendaknya ia mengqadha pada hari-hari lain sebagai ganti hari-hari yang puasanya ia tinggalkan. Ini adalah pendapat jumhur.

Alasannya, karena makna ayat ini begini: Barangsiapa di antara kamu sakit atau bepergian, lalu ia tak berpuasa, maka ia harus berpuasa pada hari-hari yang lain, setelah ia tak berpuasa.

3. Kafarat bagi orang yang berjimak di siang hari Ramadhan

Barangsiapa sengaja tak berpuasa atau melakukan jimak pada siang hari di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar kafarat-menurut mazhab Hanafi dan Maliki, tidak menurut mazhab lainnya-, yaitu memerdekakan seorang budak (yang beriman-menurut Jumhur-, meski tak beriman-menurut mazhab Hanafi-).

Kalau seseorang tak mampu, hendaknya ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak sanggup, hendaknya ia memberi makan enam puluh orang miskin. Sedangkan dalam qadha Ramadhan, tidak ada kafarat gara-gara membatalkan puasa atau berjimak.

4. Fidyah Puasa

Ada beberapa riwayat dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas bahwa ayat “وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ” tidak mansukh.

Melainkan tetap berlaku hukumnya bagi orang yang tidak mampu berpuasa dan puasa itu membawa mudarat baginya, misalnya: orang tua renta, mereka harus membayar fidyah: memberi makan orang miskin.

Jadi, manusia terbagi menjadi tiga kelompok: orang yang sehat dan mukim (mereka harus menjalani sendiri puasa di bulan Ramadhan), orang sakit dan musafir (mereka boleh tak berpuasa kalau mau).

5. Anjuran berpuasa secara Mutlak

Firman Allah Ta’ala “وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ” menunjukkan bahwa puasa dalam perjalanan, dalam kondisi sakit yang tidak berat, dan dalam kondisi lainnya adalah lebih baik. Lebih utama firman ini diartikan secara umum.

Sebab lafalnya umum, sebagaimana dikatakan al-Fakhrur Razi, dan ini berarti anjuran untuk berpuasa secara mutlak, sebagaimana kata al-Qurthubi. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)