Hukum Mengganti Puasa bagi Orang Sakit dan Musafir

Daftar Isi
Hukum Mengganti Puasa bagi Orang Sakit dan Musafir

Firman Allah Ta’ala “فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ” menunjukkan bahwa kewajiban asli bagi orang sakit atau musafir adalah puasa, hanya saja ia mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.

Jadi, kalau ia tak berpuasa, hendaknya ia mengqadha pada hari-hari lain sebagai ganti hari-hari yang puasanya ia tinggalkan. Ini adalah pendapat jumhur.

Alasannya, karena makna ayat ini begini: Barangsiapa di antara kamu sakit atau bepergian, lalu ia tak berpuasa, maka ia harus berpuasa pada hari-hari yang lain, setelah ia tak berpuasa.

Kalau penduduk negeri berpuasa selama 29 hari, dan di negeri itu ada seseorang yang sedang sakit yang tidak pernah sembuh selama itu, maka ia mengqadha sebanyak 29 hari, Menurut jumhur, dianjurkan (tidak wajib) menjalani puasa qadha itu secara berurutan harinya.

Karena ayat “فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ” bersifat mutlak, tidak menetapkan hari-harinya harus terpisah atau berurutan, dan kalau seseorang melaksanakan puasa hari-hari itu secara terpisah-pisah berarti ia telah berpuasa pada beberapa hari yang lain.

Imam Daraquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Aisyah r.a., katanya: Semula turunnya ayat ini berbunyi “فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ متتابعات” kemudian kata “متتابعات” dinasakh.

Ayat ini juga menunjukkan wajibnya mengqadha tanpa penentuan batas waktunya, karena apabila suatu kata meliputi segala waktu maka ia tidak secara khusus berkaitan dengan salah satu waktu tertentu.

Jika datang bulan Ramadhan berikutnya dan ia belum mengqadha. Jumhur berpendapat bahwa ia harus membayar kafarat, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya.

Sedangkan menurut Abu Hanifah, ia tidak wajib membayar kafarat apa pun, sesuai dengan lahiriah ayat: “فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ”.

Dalil Jumhur adalah riwayat Daraquthni dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah tentang orang yang melalaikan qadha Ramadhan hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, ia berkata:

“Hendaknya ia berpuasa bulan Ramadhan ini bersama orang-orang, kemudian ia harus menjalani puasa qadha yang ia abaikan, dan ia mesti membeli makan satu orang miskin untuk setiap harinya.” (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)