Hukum Qadha Puasa bagi Orang Sakit dan Musafir

Daftar Isi
Hukum Qadha Puasa bagi Orang Sakit dan Musafir

Orang sakit dan musafir boleh tak berpuasa di bulan Ramadhan, dan keduanya wajib mengqadha pada waktu yang lain.

Penyakit yang membolehkan untuk tak berpuasa, menurut mayoritas fukaha, adalah yang mengakibatkan mudarat pada jiwa atau menambah parahnya penyakit yang diperhitungkan dalam hal itu adalah dugaan yang kuat.

Standar inilah yang sesuai dengan hikmah rukhshah dalam ayat ini: yaitu menghendaki kemudahan dan menolak kesukaran.

Lahiriah ayat ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan adalah penyakit apa pun, yang bisa disebut “penyakit”, dan ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Atha’, dan Imam Bukhari.

Adapun perjalanan yang membolehkan untuk tak berpuasa adalah yang membolehkan untuk mengqashar shalat empat rakaat.

Ukurannya, menurut jumhur, adalah enam belas farsakh atau 48 mil Hasyimi, atau sejauh perjalanan dua hari dengan kecepatan normal atau dua marhalah dengan jalan kaki. Laut sama dengan darat.

Dalil mereka adalah riwayat Imam Syafi’i dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam jarak kurang dari empat bariid dari Makkah ke Usfan.” Para ulama memperkirakan jarak tersebut 89 km.

Ukuran perjalanan yang membolehkan untuk mengambil rukhshah, menurut mazhab Hanafi, adalah tiga marhalah atau 24 farsakh, atau jarak perjalanan yang ditempuh selama tiga bari dengan kecepatan sedang, yaitu kecepatan jalannya unta, jalan kaki (manusia) di darat, dan jalannya kapal layar di laut.

Mazhab Hanafi menganggap cukup perjalanan yang dilakukan pada sebagian besar dari (siang) hari; dan mereka memperkirakan jaraknya adalah 96 km. Mereka berhujjah dengan sabda Rasulullah Saw:

يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثة أيام ولياليهن

Artinya: “Orang yang mukim boleh mengusap khuff (sepatu) selama sehari semalam, sedang musafir boleh mengusap selama tiga hari tiga malam.

Hal itu tidak bisa terjadi kecuali jika tempo perjalanan adalah tiga hari, karena syariat menjadikan ‘illah (sebab musabab) kebolehan mengusap itu berlangsung hingga tiga hari adalah perjalanan, dan segala rukhshah tidak dapat diketahui kecuali dari syariat.

Dalil lainnya adalah riwayat dari Rasulullah Saw yang memperhitungkan tiga hari perjalanan, yaitu dalam hadits Ibnu Umar dari Nabi Saw bahwa beliau melarang wanita bepergian selama tiga hari kecuali jika diiringi dengan mahram.

Hadis tersebut ialah mutafaq alaih, maka dari itu ia lebih rajih (kuat) daripada hadis-hadis Abu Sa’id dan Abu Hurairah yang menyatakan larangan bagi wanita untuk bepergian sejauh dua hari perjalanan.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tak berpuasa adalah rukhshah. Jadi, terserah musafir apakah mau berpuasa atau tidak, karena dalam ayat ini terdapat kata yang disembunyikan, taqdiirnya begini: فمن كان منكم مريضا على سفر فأفطر فعيه عدة من أيام أخر

Abu Dawud, dalam Sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah bahwa Hamzah al-Aslami bertanya kepada Nabi Saw, “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh berpuasa dalam perjalanan?” Beliau bersabda:

صم إن شئت وأفطر إن شئت

Artinya: “Berpuasa atau tidak, terserah padamu.

Sejumlah sahabat (Ibnu Abbas, Abu Sa’id al-Khudri, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Darda’, dan Salamah) meriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau pernah berpuasa dalam perjalanan.

Begitu juga para sahabat pun berpuasa bersama Nabi Saw di bulan Ramadhan pada tahun penaklukan Makkah, kemudian beliau bersabda kepada mereka:

إنكم قد دنوتم من عدوكم والفطر أقوى لكم فأفطر

Artinya: “Kalian sudah dekat dengan musuh, dan berbuka akan lebih membuat kalian kuat, maka berbukalah.

Sebagian sahabat (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) berkata: Yang wajib atas musafir dan orang sakit adalah tak berpuasa, kemudian mereka wajib berpuasa pada hari yang lain, dengan dalil makna lahiriah sabda Rasulullah Saw:

ليس من البر الصيام في السفر

Artinya: “Berpuasa dalam perjalanan bukan termasuk kebajikan.

Namun jumhur menyanggah argumen ini bahwa sabda ini dikeluarkan berkenaan dengan suatu keadaan khusus, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Syu’bah dari Jabir bin Abdullah dari Nabi Saw, bahwa suatu ketika beliau melihat seseorang yang dipayungi dan dikerubuti orang banyak, maka beliau bersabda:

Berpuasa dalam perjalanan bukan termasuk kebajikan.”

Sebagian orang yang mendengar sabda beliau ini kemudian menuturkannya disertai sebab musababnya, tapi sebagian lagi hanya menyebutkan sabda beliau saja. 

Mayoritas imam mazhab menetapkan bahwa puasa, bagi musafir yang kuat menjalaninya, lebih afdhal. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

Dan berpuasa lebih baik bagimu.

Artinya, puasa kalian, wahai orang-orang yang sakit dan para musafir serta orang-orang yang bisa menjalaninya dengan susah payah, lebih baik bagi kalian ketimbang membayar fidyah.

Sebab dengan puasa itu kalian memerangi nafsu, membuktikan kekuatan Iman, dan menyadari pengawasan Allah.

Sedangkan Imam Ahmad, al-Auza’i, dan sejumlah ulama lain berpendapat bahwa tak berpuasa lebih afdhal, dengan dalil firman-Nya:

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Para ulama sepakat bahwa orang yang bepergian di bulan Ramadhan tidak boleh meniatkan tidak puasa pada malam harinya, karena musafir tidak menjadi musafir dengan niat semata-berbeda dengan orang yang mukim-, melainkan dia baru menjadi musafir dengan bangkit dan melakukan perjalanan secara nyata.

Sedangkan orang yang mukim tidak perlu melakukan apa-apa untuk disebut bahwa ia mukim sebab jika ia telah berniat untuk bermukim maka pada saat itu juga ia menjadi orang yang mukim.

Tidak ada perbedaan pendapat pula di antara mereka tentang orang yang beharap-harap akan perjalanan, bahwa ia tidak boleh tak berpuasa sebelum ia keluar dari kampungnya.

Mereka sepakat bahwa orang yang bepergian untuk mengerjakan ketaatan (seperti haji, jihad, silaturahmi, mencari nafkah untuk biaya penghidupan yang vital, perjalanan dagang. dan amal-amal yang mubah) boleh tak berpuasa.

Adapun orang yang bepergian dalam perjalanan maksiat, ia pun boleh tak berpuasa menurut mazhab Hanafi karena perjalanan itu sendiri bukan maksiat; yang maksiat adalah pekerjaan sesudahnya atau hal-hal yang mengiringinya.

Dan hal itu tidak berpengaruh kepada rukhshah qashar shalat; dan juga karena ada kemungkinan ia bertobat apabila ia ingat nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadanya dengan membolehkannya tak berpuasa, mengqashar shalat, dan lain-lain.

Sedangkan jumhur, selain mazhab Hanafi, berpendapat bahwa rukhshah-rukhshah yang berkenaan dengan perjalanan (seperti qashar dan jamak shalat, tidak berpuasa, dan sejenisnya) tidak boleh diambil oleh musafir dalam perjalanan maksiat, karena rukhshah itu akan membantunya melakukan perbuatan haram, dan syariat melarang hal itu. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)