Kandungan Fiqih dan Hukum dalam Surah Al-Baqarah ayat 185
Surat Al-Baqarah ayat 185 ini mengandung banyak hukum. Saya akan menerangkannya secara ringkas sebagai berikut:
1. Bulan Ramadhan di mana Al-Qur’an diturunkan
Bulan Ramadhan punya keistimewaan dibanding bulan-bulan lainnya dengan terpilihnya ia sebagai waktu pelaksanaan puasa karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini. Yakni penurunan Al-Qur’an dimulai di bulan Ramadhan.
2. Kewajiban puasa dengan menyaksikan Bulan Ramadhan
Tentang firman-Nya “فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ” ada dua pendapat mengenai maf‘uul dari kata syahida. Pertama: Maf’uul syahida dihapus. Maknanya: “Barangsiapa hadir di negerinya pada bulan itu”.
Jumhur juga memandang bahwa menyaksikan bagian mana pun dari bulan Ramadhan cukup untuk membuat puasa menjadi wajib atas orang yang bersangkutan.
Hanya saja mazhab Hanafi memandang bahwa puasa sebulan penuh menjadi wajib hukumnya dengan menyaksikan bagian mana pun dari bulan itu.
Sedangkan mazhab Syafi’i memandang bahwa menyaksikan bagian mana pun mewajibkan puasa bagian itu.
3. Apakah kemunculan hilal Ramadhan ditetapkan berdasarkan kesaksian satu orang atau dua orang?
Ada dua pendapat di kalangan para ulama. Menurut Malik, kesaksian satu orang tidak diterima dalam masalah ini sebab ini adalah kesaksian atas hilal, maka tidak diterima kesaksian kurang dari dua orang, sama seperti kesaksian atas hilal Syawwal dan Dzulhljjah.
Sedangkan menurut jumhur, ucapan satu orang yang berperangai baik bisa diterima. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan olehAbu Dawud dari Ibnu Umar, katanya:“
Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu kuberitahu Rasulullah Saw bahwa aku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang berpuasa.”
Kesaksian seorang wanita bisa diterima menurut mazhab Hanafi dan Hambali, tak bisa diterima menurut mazhab Maliki dan Syafi’i.
4. Orang yang melihat hilal Ramadhan atau hilal Syawal sendirian
Imam As-Syafi’i berkata: Barangsiapa melihat hilal Ramadhan sendirian, maka hendaknya ia mulai puasa, dan barangsiapa melihat hilal Syawwal sendirian, maka hendaknya ia menghentikan puasa, dan hendaknya ia menyembunyikan hal itu.
Sedangkan Malik dan Ahmad berkata: Orang yang melihat hilal Ramadhan sendirian hendaknya berpuasa sebab tidak seyogianya ia tak puasa sementara ia tahu bahwa hari itu sudah masuk bulan Ramadhan.
Sedangkan orang yang melihat hilal Syawwal sendirian tidak boleh menghentikan puasa karena orang-orang akan menuduh orang yang tak berpuasa di antara mereka sebagai orang yang tidak amanah.
Jika hilal tidak terlihat karena gerhana matahari, misalnya, sebagaimana yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun 1404 H, dan sebagian manusia telah berpuasa 28 hari, akibat terlihatnya hilal Syawwal, maka wajib mengqadha satu hari, demi melengkapkan bilangan bulan, yaitu minimal satu bulan itu terdiri dari 29 hari.
5. Perbedaan mathla’
Perbedaan mathla’ (Tempat terbut matahari), Menurut jumhur, apabila hilal sudah terlihat di sebuah negeri, penduduk negeri-negeri lainnya wajib berpuasa, baik letak negeri itu jauh maupun dekat, demi menyatukan puasa di antara kaum muslimin. Jadi, perbedaan mathla’ tidak diperhitungkan.
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, jika negeri itu letaknya berdekatan, hukumnya sama; tapi jika berjauhan, penduduk masing-masing negeri menjalani puasa berdasarkan ru‘yah mereka sendiri.
Ukuran jarak yang membedakan negeri yang jauh dan yang dekat, menurut pendapat paling shahih di kalangan mereka, adalah jarak qashar shalat (89 km). Pendapat seperti ini tidak lagi bisa diterima.
6. Terlihatnya hilal Syawal pada siang hari tanggal 30 Ramadhan tidak masuk hitungan
Terlihatnya hilal Syawwal pada siang hari tanggal 30 Ramadhan tidak masuk hitungan. Hilal tersebut dianggap sebagai hilal malam yang akan datang, dan inilah pendapat yang benar.
7. Perintah bertakbir hari Raya
Firman Allah Ta’ala “وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ” menunjukkan imbauan untuk bertakbir pada akhir bulan Ramadhan,menurut mayoritas ahli takwil. Jadi, ayat ini adalah dalil pensyariatan takbir pada hari Idul Fitri.
Lafal takbir menurut Malik dan sejumlah ulama adalah: Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar (3x). Di antara para ulama ada yang bertakbir; dan bertahlil serta bertasbih pada waktu bertakbir Ada pula yang membaca begini:
Allaahu akbar kabiiran, wal-hamdu lil-laahi katsiiran, wa subhaanal-laahi bukratan wa ashiilan.
Adapun tentang waktu takbir dan temponya, Abu Hanifah dan Malik berkata: Dianjurkan bertakbir pada hari Idul Fitri dengan berangkat dari rumahnya menuju ke lapangan tempat shalat ‘Id.
Apabila shalat telah selesai, berarti Id sudah berakhir. Sedangkan Syafi’i dan Ahmad berkata: Di anjurkan bertakbir pada waktu kapan pun sesudah shalat dan pada masa kapan pun sejak terbenamnya matahari pada malam menjelang hari Id hingga pelaksanaan shalat Id.
Dengan kata lain, sejak terlihatnya hilal Syawwal sampai munculnya imam untuk memimpin shalat Id.
8. Hal-Hal yang membatalkan puasa
Perkara yang membatalkan puasa dan yang tidak. Puasa menjadi batal gara-gara makan, minum, dan jimak yang dilakukan dengan sengaja (dan hal ini didasarkan atas nash dan ijmak).
Di samping itu ia menjadi batal pula gara-gara obat, muntah yang disengaja, onani, masuknya air ke organ tubuh bagian dalam pada waktu berkumur dan menghirup air lewat hidung yang dilakukan secara berlebihan, merokok.
Adapun suntikan pada liang kemaluan wanita membatalkan puasa (menurut mazhab Hanafi). Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, semua suntikan membatalkan puasa. Puasa tidak batal akibat keluarnya madzi menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)