Kewajiban Puasa dengan Menyaksikan Bulan Ramadhan
Tentang firman-Nya “فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ” ada dua pendapat mengenai maf‘uul dari kata syahida. Pertama: Maf’uul syahida dihapus. Maknanya: “Barangsiapa hadir di negerinya pada bulan itu”.
Yakni, dia tidak sedang bepergian. Mengikuti pendapat ini, kata asy-syahr berkedudukan manshuub sebagai zharf.
Kedua: Maf’uul syahida adalah kata asy-syahr; taqdiirnya adalah: “فَمَنْ شَهِدَ الشهر وشاهده بعقله وبمعرفته فَلْيَصُمْهُ” yang artinya: “Barangsiapa menyaksikan bulan itu dengan akal dan pengetahuannya, maka hendaknya ia berpuasa di bulan itu”.
Dan perlu diingat bahwa semua seruan Allah ditujukan kepada para mukalaf, maka dari itu ayat ini dikhususkan bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi mukalaf (yakni memenuhi syarat untuk dibebani dengan perintah dan larangan).
Pendapat pertama di atas bertumpu kepada pentaqdiiran sebuah kata yang dihapus, dan dalam ilmu ushul fiqih ada kaidah yang berbunyi:
“Apabila terjadi kontradiksi antara takhshiish (pengkhususan) dan idhmaar (pentaqdiiran suatu kata yang dihapus), maka yang mesti diberlakukan adalah takhshiish.”
Jumhur memandang bahwa ayat ini umum, meliputi seluruh mukalaf. Ia mencakup orang yang bepergian dan orang yang mukim, hanya saja orang yang bepergian boleh mengambil rukhshah dengan tak berpuasa, sama seperti orang sakit, dan keduanya harus berpuasa pada hari-hari yang lain.
Jumhur juga memandang bahwa menyaksikan bagian mana pun dari bulan Ramadhan cukup untuk membuat puasa menjadi wajib atas orang yang bersangkutan.
Hanya saja mazhab Hanafi memandang bahwa puasa sebulan penuh menjadi wajib hukumnya dengan menyaksikan bagian mana pun dari bulan itu. Sedangkan mazhab Syafi’i memandang bahwa menyaksikan bagian mana pun mewajibkan puasa bagian itu.
Adapun tentang orang yang menjadi gila di bulan Ramadhan, mazhab Maliki berpendapat bahwa ia harus mengqadha puasa hari-hari yang telah lalu, meskipun ia mengalami kegilaan itu selama bertahun-tahun.
Sedangkan mazhab-mazhab lainnya berpendapat bahwa ia tidak wajib mengqadha hari-hari yang telah lewat, sama seperti bocah yang mencapai usia balig dan orang kafir yang masuk Islam.
Orang gila yang waras dari kegilaannya pada sebagian bulan harus berpuasa (menurut pendapat paling shahih dalam mazhab Syafi’i dan Hambali) pada hari-hari yang disaksikannya saja, ia tidak harus mengqadha hari-hari lainnya.
Adapun bocah yang mencapai usta baligh dan orang kafir yang masuk Islam di bulan Ramadhan, jumhur (selain mazhab Hambali) berpendapat bahwa keduanya hanya wajib berpuasa pada hari-hari selanjutnya, tidak wajib menqadha hari-hari yang telah lewat maupun hari terjadinya masa balig dan masuk Islam.
Sedangkan mazhab Hambali, dalam riwayat/pendapat paling shahih, mengatakan: Keduanya harus mengqadha hari terjadinya masa baligh dan masuk Islam.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kewajiban puasa tergantung kepada syarat-syarat: Islam, baligh, dan mengetahui tibanya bulan Ramadhan.
Pengetahuan tentang tibanya bulan Ramadhan terwujud dengan melihat hilal sendiri atau dengan mengetahui bahwa hilal telah terlihat (oleh orang lain).
Ilmu hisab dan astronomi tidak masuk hitungan, menurut jumhur (termasuk di antaranya para Imam empat mazhab). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda:
الشهر تسع وعشرون ولا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له
Artinya: “Bulan itu terdiri dari 29 hari. Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal Ramadhan, dan jangan hentikan puasa Ramadhan hingga kalian melihat hilal Syawwal. Jika hilal tak terlihat karena cuaca mendung, lengkapkan bilangan bulan itu menjadi tiga puluh hari.”
Arti faqdiruu lahu adalah “lengkapkan bilangan bulan itu menjadi tiga puluh hari”, dengan dalil hadiss Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Nasa’i:
فأكملوا العدة
Artinya: “Maka lengkapkan bilangannya.”
Ini sesuai dengan makna lahiriah firman Allah Ta’ala:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (badah) haji..” (QS. al-Baqarah: 189)
Sebagian ulama membolehkan kita berpedoman kepada data dari observatorium dan menggunakan perhitungan ilmu falak apabila perhitungan tersebut dapat memberi pengetahuan yang qath‘i (pasti) tentang waktu-waktu ini.
Walaupun dengan tetap memakai cara melihat hilal pada saat tiada halangan untuk melihatnya, demi menggabungkan antara makna lahiriah nash dan makna yang dimaksudnya, demi menyatukan umat ini dalam ibadah mereka dan menjauhkan mereka dari perselisihan
Dan selama penyatuan itu memungkinkan, karena al-‘ilm (pengetahuan yang pasti) lebih diutamakan daripada azh-zhann (praduga); praduga tidak dipakai selama ilmu yang pasti memungkinkan.
Jadi, barangsiapa dapat melihat Ka’bah, maka ia tidak boleh berijtihad dalam menentukan arah kiblatnya, dan mempraktekkan dugaannya yang dihasilkan oleh ijtihad itu.
Para ulama Kerajaan Arab Saudi, pada bulan Shafar tahun 1409 H, mengeluarkan fatwa bolehnya berpedoman pada teleskop yang terdapat di observatorium. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)