Makna Syirik Khafi (Syirik yang Tersembunyi)
Alfailmu.com - Kebanyakan Umat Islam pasti sudah mengetahui tentang Syirik Jali (Syirik Besar), yaitu dengan mempersekutukan Allah Ta'ala secara nyata dengan yang lain, menyembah batu, pohon, dan lain-lain. Jelas semuanya itu adalah syirik besar yang dapat merusak iman seseorang.
Namun, bagaimana dengan "syirik khafi" (syirik samar)? Jelas kebanyakan dari muslim tidak mengetahuinya atau bahkan tidak sadar.
Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy menjelaskan bahwa selamanya Allah tidak akan menolong para penyeru kepada agama-Nya, kecuali jika dirinya bersih dari kotoran-kotoran dan dari tingkat syirik khafi. Naik menuju tingkat mengesakan kepada Allah SWT.
Banyak dari kalangan manusia yang tidak memahami syirik khafi, mereka membatasinya hanya pada persoalan tawasul dan istighasah. Padahal yang lebih penting dibahas dari keduanya ialah apabila manusia memperturutkan segala bentuk keinginan dalam perbuatan ketika menyeru kepada Allah SWT.
Engkau mengikutkan dirimu, kita tidak terlepas dari hal tersebut dengan beragam bentuknya. Kita berjuang demi diri kita dan mencampurnya dengan berjuang demi Allah Ta’ala. Kita membela demi diri kita dan mencampurnya dengan membela demi Allah.
Kita berusaha memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal kita tahu, seharusnya kita berjuang hanya demi Allah Subhanu wa Ta’ala. Bukankah itu semua adalah syirik yang dilarang Allah SWT untuk kita?
Orang yang hanya mementingkan diri sendiri, maka ia akan senantiasa berlaku keras dalam bergaul, berbuat buruk, serta mempersulit urusan orang lain. Hal ini semua terjadi apabila manusia telah memperhambakan diri sendiri dan memperjuangkan egonya. Inilah kenyataan yang selamanya tidak bisa dipungkiri, dan inilah yang disebut dengan syirik khafi.
Dikisahkan dalam satu riwayat yang tepercaya, bahwa seorang Yahudi mencuri kesempatan untuk melihat Imam Syafi’i karena Yahudi tadi dengki kepada beliau.
Yahudi tadi melihat Imam Syafi'i di tempat yang tidak ada orang lain. Yahudi tersebut ingin membuat Imam Syafi’i murka. Dia mengucap salam kepada beliau, kemudian ia mendekatkan tangannya ke jenggot beliau. Dia bertanya:
“Wahai, Imam!, aku hendak bertanya, jawablah !”. “Apakah jenggot ini lebih utama di sisi Allah dibandingkan seekor anjing?”.
Imam Syafi'i menjawab:
“Demi Allah, jika kelak Aku selamat di hadapan Allah SWT, maka aku tidak ragu bahwa jenggotku lebih baik. Namun, jika maksiatku menjerumuskanku ke dalam hukuman Allah SWT, maka Demi Allah, sehelai bulu dari anjing yang engkau katakan tadi lebih baik dari seluruh tubuh Imam Syafi’i”.
Ketika manusia mampu mencapai derajat ini, maka ia adalah orang yang mengesakan Allah dengan seutuhnya dan terbebas dari segala bentuk syirik, baik syirik jali maupun syirik khafi (syirik kecil). (Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy, @sanad_media)