Mengenal Ulama Akhirat, Inilah 3 Ciri-Cirinya!

Daftar Isi
Alfailmu.com Ulama merupakan pewaris para nabi dalam menyambung lisan dakwah mereka. Secara umum, ulama tersebut dibagi dua macam. Mereka ialah ulama dalam kategori 'ulama akhirat' dan 'ulama dunia' atau dikenal pula dengan sebutan ulama suu'. 
3 ciri-ciri ulama akhirat
Mereka berdua ini memiliki pakaian yang sama, yaitu pakaian ulama, tetapi berbeda dalam tujuan dan maksud. Jika ulama akhirat dalam tujuan dakwahnya mengajak manusia dalam ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, sebaliknya maka ulama dunia berdakwah untuk kepentingannya sendiri dan kemegahan hidupnya di dalam dunia.

Mengenal 3 Ciri-Ciri Ulama Akhirat

Ini penting sekali untuk penulis sampaikan agar masyarakat tidak salah dan mengikuti ulama. Karena mereka seharusnya mengikuti yang benar-benar ulama akhirat dan menjauhi ulama dunia. Berdasarkan alasan tersebut pada tulisan kali ini, penulis akan menyebutkan ciri-ciri ulama akhirat.

Syeikh Nawawi Al-Jawi dalam Kitab Syarh Muraqi Al-'Ubudiyah menyebutkan setidaknya ulama akhirat tersebut memiliki tiga tanda.

1. Ilmu hanya untuk mencari rida Allah SWT

Seorang ulama akhirat tidak menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk mencapai kemegahan dunia, tetapi tujuan ilmunya semata karena perintah agama dan untuk mendapat rida Allah Subhanahu wata'ala dan kebahagiaan akhirat.

Ciri-ciri ulama yang pertama ini juga dikuatkan dengan penguasaan ilmu batin (hati), yang terlihat pada kemampuan dalam memerangi nafsu, artinya mereka dapat berhenti dari mencintai dunia. Perlu diketahui bahwa maksud dunia di sini bukanlah seperti, mobil, uang, dan rumah.

Namun, makna dunia yang dimaksudkan di sini adalah semua yang tidak ada manfaat bagi akhirat dan dapat melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wata'ala. Sudah paham, ya?

Para ulama ini, konsep dan pegangan hidupnya berdasarkan ilmu dan dengan mengikuti pembawa syariat, yaitu Nabi Muhammad ï·º, baik dalam perbuatannya, maupun dalam perkataannya. Mereka pula orang yang paling pertama dalam mengerjakan perintah dan menjauhi segala larangan Allah Subhanahu wata'ala.

2. Menghindari dari kemewahan dunia dan raja-raja

Tanda ulama akhirat yang kedua ialah zuhud (tidak mencintai dunia). Artinya ulama di sini tidak mencintai berbagai kemewahan, seperti kemewahan dalam jamuan makan, dan tempat tinggal, dan pakaian.

Namun, bukan maksudnya para ulama tidak makan, tidak tidak ada rumah, dan tidak memakai pakai. Nah yang seperti itu adalah pemahaman yang keliru. Mereka hanya tidak menyukai pada hal-hal yang berlebihan. Gus Baha pernah berkata:
Jika makan cukup satu piring, kenapa harus dua. Bila tidur cukup dalam satu kamar, kenapa mesti membuat rumah dengan banyak kamar
Ini adalah konsep ulama yang zuhud. Bahkan terkadang dalam sisi yang lain seorang ulama akhirat juga wajib memperlihatkan keulamaannya, dengan pakaian yang baik dan rumah yang memadai.

Tujuannya agar umat ini tidak menghinanya, mengetahuinya sebagai sosok ulama, mendekatinya dan mengambil ilmu dari mereka.

Sehingga, tak heran bila kita melihat para ulama dengan pakaian yang mewah, makan di tempat yang mewah, menaiki mobil yang mewah, semuanya ini bukan ria, tetapi keharusan pada sisi yang lain dalam menyampaikan ilmu dan dakwah. Seperti berdakwah kepada kaum modern, orang-orang Barat, para pejabat, dan orang-orang yang sudah terlalu pakar dalam urusan dunia.

Begitu juga, ulama akhirat seharusnya dapat menghindari bercampur dengan raja-raja agar umat tidak menganggapnya sebagai ulama yang duniawi. Kecuali untuk memberi nasehat atau untuk menolak kezaliman dari raja atau untuk mendapatkan syafaat dan keridaan dari Allah Ta'ala dengan dakwah kepada semua kalangan umat ini.

Nah, di sini barangkali orang terdahulu menyebutnya 'bercampur dengan raja-raja', tetapi pemahaman yang mudah kita pahami ialah seorang ulama akhirat tidak boleh berkumpul dengan orang yang memerintah urusan dunia, seperti para penguasa, kecuali ada hajat (kebutuhan) dakwah.

Pada akhirnya zuhud, ria dan mencintai dunia atau tidaknya para ulama, semuanya kembali lagi pada hatinya masing-masing. Karena isi hati adalah inti dari segala maksud manusia, dan urusan ini hanya Allah Ta'ala yang mengetahuinya.

3. Tidak mudah dalam memberikan fatwa

Terakhir, ciri-ciri seorang ulama akhirat ialah mereka tidak mudah dan menganggap sepele dalam memberikan fatwa terhadap sesuatu permasalahan, baik masalah umat, maupun masalah-masalah dalam agama. Tujuannya agar mereka terhindar dari perasaan 'merasa lebih alim' dari yang lain.

Ada satu riwayat dari Syarih bin Hani, beliau mengatakan Aku pergi ke Aisyah r.ah, lalu aku bertanya tentang hukum menyapu dua sepatu. Maka Aisyah berkata:

"Pergilah kamu ke Ali bin Abi Thalib, tanyakannlah kepadanya, karena sesungguhnya Ali selalu bermusafir bersama dengan Rasulullah ï·º". 

Maka kami pun menanyakannya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Ada pula riwayat dari Sa'ad bin Hisyam bin Amir, beliau datang menemui Ibnu Abbas menanyakan tentang shalat witir Rasulullah SAW. Kemudian Ibnu Abbas menjawab:
"Perlukah saya tunjukkan orang di bumi ini yang sangat mengetahui tentang witir Rasulullah ï·º?".

Kemudian Sa'ad bertanya:
"Siapa?". 

Ibnu Abbas menjawab:
"Aisyah".

Lalu Sa'ad pun datang menemui Aisyah r.ah untuk menanyakan pertanyaan tadi.

Selanjutnya, ada pula satu riwayat dari Hathan, beliau berkata, Aku bertanya kepada Aisyah tentang sutra, Aisyah menjawab:

"Pergilah kepada Ibnu Abbas, tanyakanlah padanya".

Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas menjawab:
"Tanyakanlah kepada Ibnu Umar!".

Kemudian, aku tanyakan hal tersebut kepada Ibnu Umar, maka beliau berkata:
"Aku telah diberi tahu oleh Abu Hafs bahwa sesungguhnya Rasulullah ï·º bersabda, "Hanyasanya orang yang memakai sutera di dunia, maka mereka tidak memiliki kesempatan lagi untuk memakainya di akhirat".

Berdasarkan 3 riwayat di atas memperlihatkan kepada kita bahwa bagaimana para sahabat Rasulullah ï·º sangat tawadhu' dan mempersilakan untuk menjawab permasalahan umat kepada para sahabat yang dianggap lebih alim. Padahal nyatanya mereka para sahabat merupakan para pakar ilmu yang begitu alim di masanya.

Dalam riwayat-riwayat tersebut terlihat begitu jelas bagaimana karakter seorang ulama dari kalangan sahabat yang tidak merasa malu untuk menyerahkan persoalan umat kepada mereka yang dianggap lebih mengetahui.

Berbeda dengan beberapa ulama masa kini (ulama suu') yang selalu paling depan dalam memberikan fatwa agar dianggap paling alim dan paling hebat. Sehingga dengan demikian ia akan dikenal di seluruh negeri, serta dapat memudahkan mereka dalam berbagai urusan dunia.

Oleh karena itu, tidak segera memberikan fatwa merupakan bagian dari nasehat. Sehingga dengan nasehat tersebut menjadikan para ulama setelahnya dapat mengetahui bagaimana seharusnya karakter seorang ulama akhirat.

Nah, setelah mengetahui beberapa karakter dan ciri ulama akhirat, masyarakat sudah semestinya tidak salah dalam memilih ulamanya sebagai panutan hidup, yang membimbing mereka kepada jalan akhirat dan membantu mendekatkan diri kepada Allah SWT, amin. Wallahua'alam

Sumber: 
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Muraqi al-'Ubudiyah, (Surabaya: Al-Haramain, t.th), h. 6-7